Persyaratan bangunan di Indonesia secara umum diatur oleh dua aturan. Peraturan pertama yang sifatnya cukup mengikat masyarakat adalah peraturan dari pemerintah berupa undang-undang. Dan peraturan yang ke dua adalah peraturan dari aspek agama/ budaya.
Untuk peraturan yang pertama biasanya merupakan produk penetapan pemerintah daerah setempat yang menyangkut aturan-aturan pada rencana peruntukan (land use). Biasanya tiap wilayah mempunyai aturan yang berbeda-beda, tergantung dari keadaan lingkungannya sendiri. Peraturan ini biasanya mencakup antara lain garis sempadan, ketentuan tinggi maksimal bangunan, dan ketentuan jarak bebas bangunan. Walau sudah diatur sedemikian, masih saja terdapat masyarakat yang tidak mentaati peraturan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kurang tegasnya tindakan atau sanksi yang diberikan kepada pelanggar.
Peraturan yang ke dua biasanya hanya segelintir orang saja yang menerapkan pada bangunannya. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat yang telah berkembang, sehingga masyarakat kurang memperhatikan persyaratan bangunan yang dipandang dari aspek agama ini.
Sekarang telah banyak bangunan-bangunan megah, tetapi dilupakan aspek religinya. Banyak bangunan yang mempunyai fasilitas lengkap, tetapi tempat untuk ibadah pemilik bangunan terkesan enggan untuk menyediakannya. Arsitektur bukan sesuatu yang “wah”, tetapi arsitektur adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Bagaimana arsitektur bisa dekat dengan kita, kalau untuk beribadah di dalamnya saja kita sulit untuk melakukannya.
Bukan saja dari aspek religi, tetapi arsitektur juga dipandang dari berbagai aspek. Sekarang diperlukan kreatifitas seorang arsitek untuk menciptakan arsitektur yang fleksibel. Pada bangunan yang sifatnya dikunjungi orang banyak, tentu akan banyak karakter orang yang akan ditemui, jadi bangunan itu paling tidak bisa memberikan kenyamanan dan rasa aman pada tiap orang yang berada dalam gedung itu. Oleh karena itu arsitek harus peka terhadap kebutuhan masyarakat.
Agar tidak terjadi kesalahan setelah bangunan selesai dibangun, maka si arsitek harus berkomunikansi terhadap masyarakat. Si arsitek tidak boleh merasa paling hebat dan paling benar. Tetapi si arsitek juga harus menerima masukan dari masyarakat awam sekalipun.
Untuk peraturan yang pertama biasanya merupakan produk penetapan pemerintah daerah setempat yang menyangkut aturan-aturan pada rencana peruntukan (land use). Biasanya tiap wilayah mempunyai aturan yang berbeda-beda, tergantung dari keadaan lingkungannya sendiri. Peraturan ini biasanya mencakup antara lain garis sempadan, ketentuan tinggi maksimal bangunan, dan ketentuan jarak bebas bangunan. Walau sudah diatur sedemikian, masih saja terdapat masyarakat yang tidak mentaati peraturan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kurang tegasnya tindakan atau sanksi yang diberikan kepada pelanggar.
Peraturan yang ke dua biasanya hanya segelintir orang saja yang menerapkan pada bangunannya. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat yang telah berkembang, sehingga masyarakat kurang memperhatikan persyaratan bangunan yang dipandang dari aspek agama ini.
Sekarang telah banyak bangunan-bangunan megah, tetapi dilupakan aspek religinya. Banyak bangunan yang mempunyai fasilitas lengkap, tetapi tempat untuk ibadah pemilik bangunan terkesan enggan untuk menyediakannya. Arsitektur bukan sesuatu yang “wah”, tetapi arsitektur adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Bagaimana arsitektur bisa dekat dengan kita, kalau untuk beribadah di dalamnya saja kita sulit untuk melakukannya.
Bukan saja dari aspek religi, tetapi arsitektur juga dipandang dari berbagai aspek. Sekarang diperlukan kreatifitas seorang arsitek untuk menciptakan arsitektur yang fleksibel. Pada bangunan yang sifatnya dikunjungi orang banyak, tentu akan banyak karakter orang yang akan ditemui, jadi bangunan itu paling tidak bisa memberikan kenyamanan dan rasa aman pada tiap orang yang berada dalam gedung itu. Oleh karena itu arsitek harus peka terhadap kebutuhan masyarakat.
Agar tidak terjadi kesalahan setelah bangunan selesai dibangun, maka si arsitek harus berkomunikansi terhadap masyarakat. Si arsitek tidak boleh merasa paling hebat dan paling benar. Tetapi si arsitek juga harus menerima masukan dari masyarakat awam sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar