Kompetensi adalah keterampilan & keahlian yang diperlukan untuk melakukan tugas. Standar kompetensi merupakan kompetensi yang baku, ditingkat perusahaan, regional, nasional sampai internasional. Standar Kompetensi Arsitek ini disusun sebagai acuan dalam menilai kemampuan seorang arsitek dalam menjalankan keahliannya. Standar kompetensi bagi arsitek telah ditetapkan oleh Perserikatan Arsitek Internasional (Union of International Architects disingkat UIA). Ketetapan dari UIA itulah yang menjadi rambu untuk para penimbang atau penakar nilai (assessor) maupun mereka yang ingin mengikuti program sertifikasi arsitek profesional Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Panduan ini disusun atas dasar 13 butir kompetensi. Dan tiap butir kompetensi yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Arsitek Internasional (UIA) memiliki tingkatan yang berbeda. Adapun penjabarannya menjadi sebuah petunjuk cara memberi nilai berikut pertimbangan-pertimbangannya dibuat dengan merujuk ke format yang telah ditetapkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Adapun tiga belas butir tersebut adalah:
Tiga belas butir tersebut secara sadar atau pun tak sadar telah didapatkan di perkuliahan yang telah ditempuh oleh seorang sarjana arsitek. Tetapi biasanya ada beberapa mahasiswa yang menyepelekan beberapa mata kuliah sebagai mata kuliah yang tidak begitu penting. Sehingga setelah ujian semester selesai dan lulus pada mata kuliah itu, ilmu yang diperoleh jadi terlupakan. Misalnya saja mata kuliah perkembangan arsitektur, setelah ujian selesai dan dinyatakan lulus, mahasiswa cendrung melupakannya karena menganggap mata kuliah tersebut adalah sesuatu yang sepele. Padahal untuk menjadi seorang arsitek yang profesional, seorang arsitek harus mampu menjelaskan garis besar sejarah arsitektur dan perkembangannya. Padahal dengan tidak menguasai hal itu saja, seorang sarjana arsitek bisa dikatakan tidak memiliki kompetensi untuk menjadi seorang arsitek.
Jadi dari hal tersebut di atas, nilai seorang sarjana arsitek pada masa perkuliahan tidak sepenuhnya menjamin untuk menjadikan seorang sajana arsitek menjadi arsitek yang berkompeten. Jadi diperlukan pengukuran kinerja yang dilakukan secara kontinu, obyektif dan kuantitatif. Diperlukan instrumen ukur dan pengukuran tidak berhenti pada wisuda seorang sarjana saja. Salah satunya bisa dilakukan dengan uji sertifikasi yang rambunya telah disusun oleh Union of International Architects (UIA). Hal ini harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan antisipatif karena tugas di masa datang makin sepat berubah. Untuk menjadi seorang yang professional, seorang sarjana arsitek harus mampunyai keunggulan kompetitip dalam rangka menghadapi masa kompetisi global sekarang ini.
Panduan ini disusun atas dasar 13 butir kompetensi. Dan tiap butir kompetensi yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Arsitek Internasional (UIA) memiliki tingkatan yang berbeda. Adapun penjabarannya menjadi sebuah petunjuk cara memberi nilai berikut pertimbangan-pertimbangannya dibuat dengan merujuk ke format yang telah ditetapkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Adapun tiga belas butir tersebut adalah:
- Perancangan Arsitektur
- Pengetahuan Arsitektur
- Pengetahuan Seni
- Perencanaan dan Perancangan Kota
- Hubungan Antra Manusia, Bangunan dan Lingkungan
- Pengetahuan Daya Dukung Lingkungan
- Peran Arsitek Di Masyarakat
- Persiapan Pekerjaan Perancangan
- Pengertian Masalah Antar Disiplin
- Pengetahuan Fisik dan Fisika Bangunan
- Penerapan Batasan Anggaran dan Peraturan Bangunan
- Pengetahuan Industri Konstruksi dalam Perancangan
- Pengetahuan Manajemen Proyek
Tiga belas butir tersebut secara sadar atau pun tak sadar telah didapatkan di perkuliahan yang telah ditempuh oleh seorang sarjana arsitek. Tetapi biasanya ada beberapa mahasiswa yang menyepelekan beberapa mata kuliah sebagai mata kuliah yang tidak begitu penting. Sehingga setelah ujian semester selesai dan lulus pada mata kuliah itu, ilmu yang diperoleh jadi terlupakan. Misalnya saja mata kuliah perkembangan arsitektur, setelah ujian selesai dan dinyatakan lulus, mahasiswa cendrung melupakannya karena menganggap mata kuliah tersebut adalah sesuatu yang sepele. Padahal untuk menjadi seorang arsitek yang profesional, seorang arsitek harus mampu menjelaskan garis besar sejarah arsitektur dan perkembangannya. Padahal dengan tidak menguasai hal itu saja, seorang sarjana arsitek bisa dikatakan tidak memiliki kompetensi untuk menjadi seorang arsitek.
Jadi dari hal tersebut di atas, nilai seorang sarjana arsitek pada masa perkuliahan tidak sepenuhnya menjamin untuk menjadikan seorang sajana arsitek menjadi arsitek yang berkompeten. Jadi diperlukan pengukuran kinerja yang dilakukan secara kontinu, obyektif dan kuantitatif. Diperlukan instrumen ukur dan pengukuran tidak berhenti pada wisuda seorang sarjana saja. Salah satunya bisa dilakukan dengan uji sertifikasi yang rambunya telah disusun oleh Union of International Architects (UIA). Hal ini harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan antisipatif karena tugas di masa datang makin sepat berubah. Untuk menjadi seorang yang professional, seorang sarjana arsitek harus mampunyai keunggulan kompetitip dalam rangka menghadapi masa kompetisi global sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar